LANDASAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
DALAM FILSAFAT ILMU
A. Landasan Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang
ada. Dari aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran
Materialisme; (2) aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme; (4) aliran
Agnoticisme.
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang
paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya
perenungan di bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi
persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini?
Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama,
kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa
rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan
yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan
yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan
kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang
berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa”
yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu
mengenai esensi benda. Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; On =
being, dan logos = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being (
teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan pengertian ontologis
menurut istilah , sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar
Ilmu dalam Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sementara itu, A. Dardiri dalam
bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki
sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di
mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek
fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka
tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari
hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang
sebagai teori mengenai apa yang ada.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636
M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua,
yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan
sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang
ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi,
dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam
semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan
tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus
membicarakan Tuhan.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok
pemikiran sebagai berikut :
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai
sumber asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin
ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh
Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terebagi ke
dalam dua aliran:
a. Materialisme. Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah
materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme.
Mernurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada
hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan
yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh merupakan akibat saja dari proses gerakan
kebenaran dengan dengan salah satu cara tertentu. Alasan mengapa aliran ini
berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
- Pikiran yang masih sederhana,
apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran
terakhir.
- Pikiran sederhana tidak mampu
memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
- Penemuan-penemuan menunjukan
betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Oleh sebab itu,
peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol
dalam peristiwa ini.
Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi
Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa yang
merupakan haklekat adalah benda.
b. Idealisme
Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba cita
sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”,
yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat
kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis
dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau
zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit
atau sebangsanya adalah:
- Nilai ruh lebih tinggi daripada
badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupoan manusia. Ruh itu
dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah
badannya bayangan atau penjelmaan.
- Manusia lebih dapat memahami
dirinya daripada dunia luar dirinya.
- Materi ialah kumpulan energi
yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
- Dalam perkembangannya, aliran
ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori idenya.
Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep
universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini
hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi
hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2.
Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling
bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi
maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh,
begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan
menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil
misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan sehat
kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan
kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang
tersebut.
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai
asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad
dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan
berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan
kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama
kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates
(1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua
hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang
(kebendaan).
3.Pluralisme
paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk
itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion
dikataka sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari
banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa
Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi
yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan
udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran
New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam
bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak,
yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal
yang mengenal.
4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah
doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini
diantaranya adalah Fredrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di
Pursia, dari keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”,
Allah Kristiani dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan
rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Dan pada
kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai
kristiani. Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap.
Dengan demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan
nilai-nilai baru, dengan transvaluasi semua nilai.
5. Agnotisisme
adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat
sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu,
air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat
terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh
inderanya maupun oleh pikirannya.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik
hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum
dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya
kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas
selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya
seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard
(1813-1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat
Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum,
tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan
ke dalam sesuatu yang lain.
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap
kemampuan manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini
mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya
mengetahui hakikat bahkan menyerah sama sekali.
B. Landasan Epistemologi
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theori of knowledge). Secara
etomologi, istilah etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan
dan logos = teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat
yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya
(validitas) pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah
ada itu?”, sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang
dapat saya ketahui?”
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
(1) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?
(2) Dari mana pengtahuan itu dapat diperoleh?
(3) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
(4) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman)
dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut
untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan
ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan
sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman,
atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang
dimaksud dengan epistemologik, sehingga dikenal dengan adanya model-model
epiostemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme
kritis, positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode
tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil
observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak
dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal
lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang,
bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi
juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut
memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.
2. Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada
dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu
dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada
perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan
menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori
tersebut.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal
dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan
segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu,
iamenolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang
tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan
ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya
dikembangkan sutu kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang
diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti
yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
C. Landasan Aksiologi
Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai
dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “Teori tentang nilai”.
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan,
atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan
manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika
berkaitan denganj nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil
pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila
subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur
segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi
subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat
psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan
berbagai pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti perasaan,
intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka
atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan
topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah
yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan
bekerja, dia hanya tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama,
adat istiadat.
Tetapi perlu disadari setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa berdampak positif
dan negatif. Dalam hal ini ilmuwan terbagi dua golongan pendapat. Golongan
pertama berpendapat mengenai kenetralan ilmu. Ilmuwan hanyalah menemukan
pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk menggunakannya. Golongan kedua
berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada
metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan
nilai-nilai moral, sebagai ukuran kepatutannya.
D. Hubungan Antara Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Dalam
Filsafat Ilmu
Istilah ilmu sudah sangat populer, tetapi seringkali banyak orang memberikan
gambaran yang tidak tepat mengenai hakikat ilmu. Terlebih lagi bila pengertian
ini dikaitkan dengan berbagai aspek dalam suatu kegiatan keilmuan, misalnya
matematika, logika, penelitian dan sebagainya. Apakah bedanya ilmu pengetahuan
[science] dengan pengetahuan [knowledge] ? Apakah karakter ilmu ? apakah
keguanaan ilmu ? Apakah perbedaan ilmu alam dengan ilmu sosial ? apakah peranan
logika ? Dimanakah letak pentingnya penelitian ? apakah yang disebut metode
penelitian? Apakah fungsi bahasa ? Apakah hubungan etika dengan ilmu.
Manusia berfikir karena sedang menghadapi masalah, masalah inilah yang
menyebabkan manusia memusatkan perhatian dan tenggelam dalam berpikir untuk
dapat menjawab dan mengatasi masalah tersebut, dari masalah yang paling
sumir/ringan hingga masalah yang sangat "Sophisticated"/sangat
muskil.
Kegiatan berpikir manusia pada dasarnya merupakan serangkaian gerak pemikiran
tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan
[knowledge]. Manusia dalam berpikir mempergunakan lambang yang merupakan
abstraksi dari obyek. Lambang-lambang yang dimaksud adalah "Bahasa"
dan "Matematika". Meskipun nampak banyaknya serta aneka ragamnya buah
pemikiran itu namun pada hakikatnya upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan
didasarkan pada tiga landasan pokok yakni : Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi.
a. Landasan Ontologi
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui. Apa yang ingin diketahui
oleh ilmu? atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?
Suatu pertanyaan:
- Obyek apa yang ditelaah ilmu ?
- Bagaiman wujud yang hakiki dari obyek tersebut ?
- Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia [seperti
berpikir, merasa dan mengindera] yang membuahkan pengetahuan.
[inilah yang mendasari Ontologi].
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran orang Barat sudah
menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Pada dasarnya tidak ada
pilihan bagi setiap orang pemilihan antara “kenampakan”[appearance] dan
“kenyataan”[reality]. Ontologi menggambarkan istilah-istilah seperti: “yang
ada”[being], ”kenyataan” [reality], “eksistensi”[existence], ”perubahan”
[change], “tunggal”[one]dan“jamak”[many].
Ontologi merupakan ilmu hakikat, dan yang dimasalahkan oleh ontologi adalah: ”
Apakah sesungguhnya hakekat realitas yang ada ”rahasia alam” di balik realita
itu?
Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu
diawali dari subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek
dari ilmu adalah manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
Adapun yang menjadi dasar ontologi adalah “Apakah yang ingin diketahui ilmu
atau apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?”. Ilmu membatasi diri hanya pada
kejadian yang bersifat empiris, mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat
diuji oleh pancaindera manusia atau yang dapat dialami langsung oleh manusia
dengan mempergunakan pancainderanya. Ruang lingkup kemampuan pancaindera
manusia dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pancaindera tersebut
membentuk apa yang dikenal dengan dunia empiris. Dengan demikian obyek ilmu
adalah dunia pengalaman indrawi. Ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang
bersifat empiris.
Pengetahuan keilmuan mengenai obyek empiris ini pada dasarnya merupakan
abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu sebab kejadian alam
sesungguhnya sangat kompleks. Ilmu tidak bermaksud "memotret" atau
"mereproduksi" suatu kejadian tertentu dan mengabstaraksikannya
kedalam bahasa keilmuan. Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi,
dengan membatasi diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses
keilmuan bertujuan untuk memeras hakikat empiris tertentu, menjangkau lebih
jauh dibalik kenyatan-kenyataan yang diamatinya yaitu kemungkinan-kemungkinan
yang dapat diperkirakan melalui kenyataan-kenyataan iru. Disinilah manusia
melakukan transendensi terhadap realitas.
Untuk mendapatkan pengetahuan ini ilmu membuat beberapa andaian [asumsi]
mengenai obyek-obyek empiris. Asumsi ini perlu, sebab pernyataan asumstif
inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.
Ilmu memiliki tiga asumsi mengenai obyek empirisnya :
- Asumsi pertama : Asumsi ini menganggap bahwa obyek-obyek tertentu mempunyai
keserupaan satu sama lain misalnya dalam hal bentuk struktur, sifat dsb.
Klasifikasi [taksonomi] merupakan pendekatan keilmuan pertama terhadap obyek.
- Asumsi kedua : Asumsi ini menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami
perubahan dalam jangka waktu tertentu (tidak absolut tapi relatif ). Kegiatan
keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu obyek dalam keadaan tertentu.
Ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok
dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian
memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang
sedang diselidiki.
- Asumsi ketiga : Asumsi ini menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu
kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang
bersifat tetap dengan urutan/sekuensial kejadian yang sama. Misalnya langit
,mendung maka turunlah hujan. Hubungan sebab akibat dalam ilmu tidak bersifat
mutlak. Ilmu hanya mengemukakan bahwa "X" mempunyai
kemungkinan[peluang] yang besar mengakibatkan terjadinya "Y".
Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang
[probabilistik]. Statistika adalah teori peluang.
b. Landasan Epistemologi
Epistemologi mempermasalahkan kemungkinan mendasar mengenai pengetahuan[very
possibility of knowledge]. Dalam perkembangannya epistemology menampakkan jarak
yang asasi antara rasionalisme dan empirisme, walaupun sebenarnya terdapat
kecenderungan beriringan. Landasanepistemology tercermin secara operasional
dalam metode ilmiah . Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu
memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan dengan berdasarkan :
1. Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang konsisten
dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
2. Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka tersebut dan
melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud dengan menguji kebenaran
pernyataan secara factual.
Suatu Pertanyaan :
- Bagaiman proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?
- Bagaimana prosedurnya ?
- Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar ?
- Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ?
- Apakah kriterianya ?
- Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu ?
Inilah kajian epistemologi
DASAR EPISTEMOLOGI ILMU
Epistemologi atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang
terlibat dalam usaha kita memperoleh pengetahuan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan
metode keilmuan. Ilmu lebih bersifat kegiatan dinamis tidak statis. Setiap
kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada
obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode
keilmuan, adalah sah disebut keilmuan.
Hakikat keilmuan tidak berhubungan dengan "titel" atau "gelar
akademik", profesi atau kedudukan, hakikat keilmuan ditentukan oleh cara
berpikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan.
c. Landasan Aksiologi
Permasalahan aksiologi meliputi sifat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, status
metafisika nilai. Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat
manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup
manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat.
Untuk kepentingan manusia, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan
dipergunakan secara komunal dan universal.
Suatu pertanyaan :
- Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan
antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah moral ?
- Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
- Bagaimana kaitan atau hubungan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas, merupakan bagian dari makna pengkajian aksiologi
terhadap hasil akhir pencapaian suatu telaah ilmu pengetahuan, dengan tujuan
untuk memberikan hasil yang terbaik bagi manfaat yang dapat memberikan
kemaslahatan bagi umat manusia.